“FIGUR IMM DALAM BINGKAI GERAKAN INTELEKTUAL MUSLIM”

Oleh: Rizal Syaefudin

IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai Organisasi mahasiswa yang benafaskan Islam dan berjiwa pembaharu atau  kalau di muhammadiyah sendiri kita mengenal dengan istilah reformis – modernis sudah semestinya kita menjadi garda terdepan terhadap pembaharuan maka dari itu nalar kritis di sini sangat di perlukan. Akan tetapi hal tersebut seolah berabanding terbalik dengan realita yang terjadi sudah tidak di pungkiri lagi banyak kader yang terlena akan kenyamanan dan kecanggihan teknologi sehingga budaya diskusi dan gerakan membaca sudah mulai memudar. Apalagi kalau melihat pada tujuan kita sebagai seorang  “akademisi islam” tentunya hal tersebut tidak akan lepas dari yang namanya literasi akan tumpul nalar berfikir ketika hal tersebut mulai menghilang.

Selain mulai hilangnya budaya literasi sebagai basis penguatan nalar kritis , hal tersebut juga dipengaruhi oleh mulai lunturnya kesadaran Kolektif dalam tubuh pimpinan.  Hal yang paling menarik  di tubuh IMM adalah masih berkaitan dengan suksesi kepengurusan, bukan lagi kepemimpinan. Menduduki pucuk kepengurusan yang paling tinggi dianggap keberhasilan dari proses perkaderan dan regenerasi kepengurusan. Orientasi pada Struktural yang lebih tinggi ini, menjadi penyebab pudarnya kesadaran kolektif untuk membangung gerakan IMM secara lebih radikal dan progresif. Pilihan memimpin jenjang kepengurusan yang lebih tinggi masih di asumsikan dapat menciptakan perubahan besar. Meski, pada akhirnya tidak mampu memformat bentuk gerakan yang di asumsikan, bahkan cenderung menyebabkan permasalahan internal dalam kepengurusan.[1] Tak bisa di pungkiri, konflik internal yang terjadi di tubuh IMM lagi – lagi persoalan jabatan sehingga menyebabkan keringnya perjuangan dalam tubuh IMM sendiri karena haus akan kekuasaan sehingga nalar kritis mereka terhadap pengembangan gerakan mulai terkikis. Muncullah perspektif yang selalu bersebrangan antar kader, bukan dalam wilayah pemikiran ide atau gagasan, cara pandang itu dimulai karena kalah dalam perebutan kekuasaan. Ada beberapa pihak yang menganggap bahwa ketika menduduki struktural yang lebih tinggi menjadi sebuah prestasi dan kebanggaan akan tetapi hal tersebut justru menjadi salah satu faktor merosotnya bahkan mulai tumpulnya kita dalam segi pemikiran ide atau gagasan ketika sudah terlena dengan tampuk kepemimpinan yang sudah di raih. Akhirnya IMM sendiri terbelenggu dalam jurang kekuasaan, hingga lupa dengan persoalan – persoalan sosial yang terjadi di sekitar kita. Padahal mengenai permasalahan atau fenomena yang terjadi di masyaraka hal tersebutlah yang perlu di beri ruang besar untuk di kritisi dan di berikan solusi. Karena seperti yang pernah di sampaikan mengutip dari kata – kata Mohammad Djazman Alkindi  “Perubahan – perubahan yang terjadi di masyarakat sejak IMM berdiri sampai sekarang, sebenarnya dapat menjadi peluang bagi setiap Organisasi apa saja, untuk menempatkan diri secara layak di tengah – tengah arus perubahan itu. Tapi ironiknya, perubahan sering dipandang sebagai gugatan, dan yang sering muncul adalah reaksi dan defense mechanism yang menguras energi, disamping konflik intern yang ditimbulkan oleh perbedaan interpretasi mengenai esensi perubahan itu.”

Dari pernyataan Mohammad Djazman Alkindi di atas membuktikan bahwa IMM harus mulai berfikir keluar jangan terlalu di sibukan dengan permasalahan – permasalahan internal saja itulah yang menjadi salah satu pengambat mandek/Berhentinya kita memunculkan gagasan – gagasan yang dapat membangun IMM ke arah yang lebih baik. Maka di sini IMM harus benar – benar memegang teguh identitasnya sesuai dengan tujuanya yaitu akademisi islam yang berakhlak mulia, maka sudah menjadi sebuah tuntutan bahwa kader – kader IMM memang harus menebar manfaat sesuai dengan Trikompetensinya terutama dalam hal intelektualitas.

Abdul Halim sani yang menggagas penggagas manifesto gerakan intelektual Profetik memberikan penjelasan intelektual lebih kepada sosok cendekiawan yang di artikan olehnya merupakan pekerja budaya yang selalu berusaha agar kebudayaan berkembang menjadi sesuatu sesuatu yang lebih beradab berdasarkan tuntutan zaman berdasarkan nilai – nilai ilahiah.[2] Maka dari hal tersebut dapat menjadi sebuah rumusan mengenai gerakan Intelektual muslim atau Cendekiawan Ikatan yang berpribadi yang memiliki akhlak mulia sebagai identitas gerakan dengan memadukan  sisi religiuitas (keagamaan) dan intelektualitas (Kemahasiswaan/Keilmuan) yang kemudian di implementasikan kepada nilai Humanitas (kemasyarakatan). Hal tersebutlah yang menjadikan alasan mengapa sebenarnya trilogi dan trikompetensi tidak dapat di pahami secara parsial atau terbagi – bagi, karena justru akan menyebabkan kehilangan identitas bagi IMM itu sendiri.

Persoalan yang paling mendasar dalam tubuh ikatan ini adalah bagaimana membawa intelektualitas ini menjadi ini menjadi sebuah semangat atau spirit berfikir kritis, menciptakan kesadaran bersama dan menggerakan semua unsur dalam setiap elemen ikatan menjadi sebuah gerakan yang khas, letak persoalanya bukanlah dimana pada darimana asal kata “intelektual” itu berasal melainkan sejauhmana intelektual ini memberikan peran yang sangat bermanfaat bagi kita.[3]

Gagasan mengenai gerakan intelektual memiliki banyak sekali kiblat terutama di sebabkan karena makna yang sangat variatif dari intelektual bila di terjemahkan. Salah satunya dari ali syari’ati mengenai Rausyanfikr asal kata dari bahasa persia yang di maknai “pemikir yang tercerahkan”[4] dalam al-qur’an sendiri kita mengenal Istilah Ulil albab sebagai “Orang – orang yang berakal” atau “Orang – orang yang mempunyai pikiran”.

Dari hal tersebut membuktikan bahwa memang segi intelektual sangat penting sebagai basis penguatan nalar kritis pada diri kader. Walaupun memang sesuai dengan pernyataan sebelumnya bahwa Trilogi dan trikompetensi tidak bisa di pahami secara parsial harus menyeluruh untuk ketiganya, namun justru hal tersebutlah membuktikan bahwa sisi intelektual tidak boleh hilang ataupun memudar. Kita sering mendengar IMM sebagai gerakan dakwah dengan GJDJ (Gerakan Jama’ah Dakwah Jama’ah) atau kita sering melihat peran IMM dalam aksi gerakan Sosial kemasyarakatan namun jarang sekali kita menemukan IMM sebagai salah satu basis gerakan Intelektual.

Dalam hidup sendiri kita mengenal yang namanya konsep soleh sosial, dimana soleh kita bukan hanya untuk diri kita tapi juga untuk orang di sekitar. Dalam sebuah hadits nabi dijelaskan mengenai perbedaan antara seorang abid (orang yang banyak ibadah) dan alim (orang yang berilmu). Orang yang abid mungkin hanya soleh untuk dirinya sendiri karena ibadah yang ia lakukan hanya berpengaruh pada dirinya sedangkan orang yang alim (berilmu) kesolehanya dapat membias ke yang lain karena ilmunya disampaikan dan dibagikan terhadap orang disekitarnya. Nah dari kasus ini membuktikan sesuai dengan pemahaman trilogi dan memang di situ peran intelektual atau ilmu sangat penting selain beragama kita juga harus berilmu untuk bisa memberikan Kontribusi ke ranah sosial. Maka di situ jelas sangat membuktikan bahwa memang peran intelektual sangat penting sebagai basis penguat nalar kritis dalam berfikir.

[1] Buku Genealogi Kaum merah: pemikiran dan gerakan hlm 4-5

[2] Sani, Manifesto gerakan Intelektual Profetik hlm. 40

[3] Buku genealogi kaum merah:pemikiran dan gerakan hlm 200

[4] Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual hlm 1