Mudik

Oleh: Muhammad Saiful Hadi

Mudik  sudah menjadi kebiasaan yang tidak mudah ditinggalkan oleh orang kota yang kebetulan memiliki sanak saudara di pedesaan.  Dirasakan aneh jika seseorang pada idul fitri tidak mudik sebagaimana yang dilakukan orang pada umumnya.  Oleh karena itu, pertanyaan yang selalu muncul  setiap menjelang lebaran adalah kapan mudik, dan bukan mudik atau tidak. Mudik dianggap sebagai kepastian sehingga tidak perlu ditanyakan lagi. Bertemu sanak keluarga di pedesaan tempat kelahirannya adalah merupakan keharusan dan tidak cukup sekedar  diwakilkan.

 

Tentu banyak hal yang diperoleh dari kegiatan mudik. Di antaranya, tali sillaturahiim dapat dengan sendirinya  terpelihara. Paling tidak setahun sekali, orang yang telah lama meninggalkan kampung halamannya, karena bekerja di kota atau di tempat lain, pada saat hari raya itu mereka akan bisa ketemu. Demikian pula rasa bangga dari prestasi yang diraih, kerinduan, berbagi informasi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah akan terjadi proses belajar kembali tentang  kehidupan bermasyarakat pedesaan.

 

Orang  selalu beradaptasi dengan masyarakat baru di mana ia bertempat tinggal. Itulah sebabnya, setelah sekian lama meninggalkan desanya dan kemudian kembali  maka perilaku  seseorang disebut telah berubah. Cara berbicaranya menjadi berubah, berpikirnya berubah, dan bahkan cara bergaulnya, misalnya memperlakukan orang tuanya, tetangganya, dan teman-temannya  lama, semua menjadi berubah.  Perubahan itu misalnya, semula ia sedemikian peduli, mau menegur kepada siapa saja yang ditemui, dan lain-lain, namun setelah beberapa lama berada di kota, ternyata cara bergaul itu menjadi berbeda.

 

Setelah sekian lama menjadi orang kota, maka  mereka  disebut terlalu individualis. Kebiasaaan orang desa yang disebut ramah,  semangat untuk saling mengenal dan menyapa, berbagi, dan sejenisnya sudah semakin  tidak dimiliki lagi.  Sikap seperti digambarkan tersebut, bagi orang desa dianggap tidak biasa.  Tradisi orang desa biasanya  selalu  menjalin hubungan  satu dengan lainnya secara dekat. Ketika bertemu, mereka  selalu menyapa, menanyakan keadaannya, dan bahkan juga saling tolong menolong, kerjasama tanpa dibarengi suasana transaksional.

 

Pergaulan di  pedesaan yang sudah dianggap indah kemudian dirasakan berubah mengkota dimaksud melahirkan kekhawatiran dari sementara kalangan.  Kemajuan ilmu dan teknologi yang berpengaruh terhadap orang-orang kota diharapkan tidak mengubah prilaku masyarakat, apalagi terhadap mereka yang berada di pedesaan.  Sebutan sebagai masyarakat yang ramah, selalu menghargai orang lain, dan sebagainya adalah  dirasakan sebagai gambaran masyarakat pedesaan yang dipelihara dan dijunjung tinggi.

 

Tardisi mudik, baik  disadari atau tidak,  diharapkan mengingatkan pada tradisi lama yang dianggap ideal dimaksud. Orang yang berhijrah ke kota dan kemudian melakukan adaptasi dengan masyarakat modern tersebut, melalui tradisi mudik yang sebenarnya tidak murah  dan juga tidak mudah dijalani tersebut akan sangat menguntungkan manakala mampu mengingatkan kembali nilai-nilai pedesaan yang sebenarnya dianggap unggul. Bukan sebaliknya, yaitu justru membawa tradisi yang dianggap rendah. Misalnya, ketika bertemu saja tidak saling menyapa, atau bahkan bersinggungan badan ketika sedang shalat berjama’ah saja tidak saling mengenal, apalagi menghormati dan mengulurkan bantuannya.

 

Oleh karena itu, tradisi mudik sebenarnya memiliki arti yang mendalam, terutama terkait dengan pelaksanaan komunikasi di antara sesama. Melalui kegiatan  tahunan dimaksud seharusnya mengingatkan kembali tentang betapa pentingnya antar sesama terpelihara  hubungan yang dekat. Manakala antar manusia sudah menjauh dan bersifat individualistik, maka sebenarnya tidak ada lagi sesuatu yang dinikmati.  Manusia tidak saja membutuhkan uang, harta, atau hal lain yang bersifat material, tetapi  juga nilai-nilai yang lebih tinggi, ialah kehangatan dalam pergaulan dengan sesama dan bahkan juga dengan Tuhannya.