By: Raifa Tryas Shara
(IMM Komisariat FTI UAD)
Lukisan yang kubuat pada kertas bergaris nyaris selesai, namun dosen dengan tangan menari pada papan tulis belum saja mengakhiri perkuliahan ini. Susana kelas ini jelas-jelas membosankan, sejak satu jam lalu aku tidak lagi memperhatikan paparan ilmu dari dosen itu. Tanganku sibuk membuat coretan-coretan klasik hingga memenuhi semua sudut kertas. Seandainya rasa kantuk bisa hadir padaku di tengah kelas ini, mungkin aku telah bermimpi bersama luasnya imajinasi. Mataku berkali-kali menatap arloji yang melekat pada tangan kiriku sembari melihat sekeliling menyaksikan sandiwara para mahasiswa yang tengah berperan menyaksikan celoteh pak dosen. Seorang mahasiswi sedang menatapku. Kami saling menatap beberapa detik lamanya, tetapi aku tidak mempedulikannya dan aku kembali menunduk menyelesaikan lukisanku. Detik waktu begitu lamban terasa,sedangkan rasa jenuh telah mencapai titik puncaknya. Papan tulis putih kini tidak lagi berwujud putih, ia terkotori oleh tinta hitam berbau sedikit menyengat. Teori-teori klasik menjelma menjadi cerita dongeng yang membosankan. Setelah menunggu sekian lama dan membosankannya, kuliah ini pun berakhir. Aku segera keluar kelas menuju tempat parkir, mobil merah bernomor polisi AB 2112 XY telah menantiku penuh jenuh. Aku melajukan mobil meninggalkan kawasan kampus dan aku melihat seorang mahasiswi berdiri di dekat gerbang kampus sembari menatapku. Aku baru menyadari bahwa mahasiswi yang menatapku silam adalah mahasiswi yang menatapku ketika berada di kelas beberaa saat yang lalu. Aku mengajak mobil merah ini menembus jalan raya yang ramai, menyusuri setiap penghias jalanan dengan sesak manusia. Pemilik-pemilik kendaraan yang enggan memberikan jalan untukku membuatku geram hingga terpaksa kunyalakan klakson panjang untuk membuat mereka menepi. Beberapa orang melihat ke arahku dengan simbol amarah, namun aku tetap melaju dan tidak peduli dengan mereka.
“Gio.. Kalau berkendara hati-hati, nak. Gio lupa pesan ibu?”
“Enggak, Bu. Gio ingin cepat sampai rumah, hari ini melelahkan sekali, Bu”.
“Tak ada manusia yang terlahir sempurna, jangan kau sesali segala yang telah terjadi,” nyanyian bocah kecil di balik kaca mobilku tiba-tiba menghancurkan lamunanku. Aku baru menyadari aku telah berhenti menanti lampu lalu lintas yang menyala merah untuk 150 detik lamanya. 4..3..2..1.. Aku kembali menginjak gas pertanda kecepatan tinggi harus kumiliki. Aku pergi begitu saja tanpa memberikan sehelai yang kertas atau bahkan sebuah koin kepada bocah yang bernyanyi di tengah lampu merah tadi.
Aku melihat ayah sedang makan seorang diri.
“Sudah makan, Nak?” Tanya ayah.
“Udah , Yah di kantin kampus. Gio ke kamar dulu ya, Yah”, jawabku sembari menaikki tangga menuju kamarku. Sebenarnya aku telah berbohong kepada ayah, aku belum mengisi perutku sejak pagi aku berangkat ke kampus, namun rasa lapar seakan enggan menyentuh perut ini. Aku membuka pintu istana kecil kebangganku, di sini adalah tempatku menuangkan segala imajinasi dan keluh kesah tentang kehidupan, di sini adaah tempat untukku menenangkan pikiranku saat dunia mulai memberatkan kepalaku. Brukk.. Aku
menghempaskan tubuhku ke tempat tidur, mencoba melupakan pikiran-pikiran yang memberatkan bahuku. Aku berlari di tengah taman bunga dengan warna-warna yang begitu indah. Aroma bunga-bunga ini membuatku tertegun dalam kekaguman. Tiba-tiba aku melihat cahaya yang begitu terang tepat di garis lurus dalam satu pandanganku. Aku mencoba mendekatinya dan mencari tahu akan cahaya tersebut. Pupil di mataku seolah kesulitan menerima cahaya yang begitu benderang ini, namun aku berhasil mendekatinya dan memasukinya. Betapa terkejutnya diriku, padang pasir gersang berisi tumbuhan berduri terhampar luas. Sesuatu yang kulihat saat ini begitu berbeda dari sebelumnya, bahkan untuk bernapas rasanya sangat sulit di tempat ini karena suasana yang begitu panas dan mencekam. Aku berbalik badan mencoba kembali ke taman bunga yang tadi kutinggalkan, tetapi aku tidak lagi menemukannya. Aku benar-benar tengah berada di tempat mengerikan saat ini. Aku berlari mencari jalan keluar, sebab aku tidak tahan lagi dengan napas yang tersengal oleh udara panas ini. Tiba-tiba sebuah benda keras dan besar menghantam pangkal leherku, aku pun ambruk. Mataku seketika terbuka dan aku menyadari tubuhku telah berada di lantai. Aku bermimpi buruk.
“Leherku!” kataku kepada cermin seraya memegang leher dan itu benar-benar terasa menyakitkan. Kutatap jam dinding rupanya malam telah menemuiku aku segera mengambil handuk untuk membasuh air ke tubuhku.
“Yah, Gio keluar dulu, Yah, mau beli kertas sama krayon”.
“Hati-hati pulangnya jangan terlau malam”. Aku segera pergi dengan mobil merahku itu.
Jalan yang sedikit sunyi tidak pernah membuatku jera untuk meningkatkan kecepatan berkendara. Aku sangat suka melukis sejak kecil, melukis adalah salah satu cara terampuh untuk menghilangkan penat yang sedang kurasakan. Akhir-akhir ini hampir setiap hari aku melukis, karena banyaknya hal yang terus aku pikirkan, oleh karena itu ketika persediaan kertas yang aku miliki telah habis, maka aku harus segera membelinya entah pukul berapa pun itu. Setelah membeli kertas dan krayon tiba-tiba aku merasa enggan untuk pulang. Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah kedai untuk sekedar membeli minum dan menghabiskan rasa bosanku. Tidak jauh dari toko aku melihat mahasiswi yang menatapku di kampus siang tadi sedang berdiri di depan perpustakaan kota, ia terlihat tengah menanti kendaraan umum.
“Jam setengah 11. Memang masih ada kendaraan umum jam segini. Nekat bener tuh cewek,” kataku setelah menatap arloji dan melihat mahasiswi itu tengah menatap ke arahku, namun aku tetap melajukan kendaraanku.
Aku memilih kursi yang menghadap ke jalan raya, di temani dua cangkir susu murni yang masih menciptakan asap. Kutatap lampu-lampu kota yang berdistribusi dalam mempercantik kota ini. Alunan musik klasik terus memanjakan telingaku di tengah gerimis malam ini, memperbesar rasa malasku untuk pulang. Pengunjung yang awalnya ramai kini mulai pergi satu per satu, yang tersisa hanya sepasang kekasih tengah bergurau dalam suara yang sedikit berbisik di ujung ruang ini dan di sebelah kursiku seorang pemuda yang berpenampilan mahasiwa tengah sibuk dengan laptopnya menikmati fasilitas wi-fi gratis dari kedai ini. Bayangan tentang kelabunya hidup nampak jelas pada malam ini. Aku hampir tidak pernah merasakan kebahagiaan, atau sedikit saja memuji kehidupan nyatanya jarang sekali terbesit olehku. Hidup ini terasa seperti mengalir dalam garis datar tanpa adanya estetika yang membuatku bisa bebicara bahwa aku beruntung bisa melihat dunia ini. Sekarang yang aku rasakan adalah kehampaan yang tiada berujung, setiap hari aku hanya menghabiskan waktuku untuk mendengarkan celoteh ilmiah para dosen yang kuanggap tidak ada untungnya sama sekali dan juga menghabiskan hariku bersama kertas-kertas putih yang dalam beberapa saat
akan berubah menjadi perpaduan-perpaduan warna atau hanya warna hitam kelabu yang mencekam. Handphoneku tiba-tiba berdering. Ayah..
Bersambung…..